OPINI 8 Maret 2021
Edi Mulyanto, S.E., M.Ec
Dosen Pendidikan Ekonomi Unpam dan Pemerhati Masalah Pasar Modal
IPO (Initial Public Offering) adalah kegiatan perusahaan menawarkan sebagian sahamnya kepada masyarakat melalui Pasar Modal. Besarnya nilai kapitalisasi perusahaan waktu IPO dan kecenderungan bahwa harga saham waktu IPO undervalue menjadikannya sebagai objek penelitian yang menarik, sehingga banyak diteliti oleh para peneliti di seluruh dunia seperti McDonald dan Fisher (1972: 97-102), Ibbotson (1975: 235-272) dan Ritter (1991: 240-250) yang mengatakan bahwa terjadi abnormal return pada hari pertama perdagangan saham di Bursa atau harga saham IPO underprice.
Pihak-pihak terkait dan punya kepentingan langsung dengan adanya IPO adalah (calon) emiten itu sendiri, investor, underwriter, dan BEI. Perhatian paling banyak diberikan pada penetapan harga IPO, hal ini adalah wajar mengingat dari penetapan harga IPO akan menentukan sukses tidaknya IPO tersebut. IPO bisa dikatakan sukses jika sahamnya diminati investor (oversubcscribe).
Penetapan harga jual suatu saham IPO terbentuk setelah tercapai kompromi antara emiten, underwriter dan pihak investor. Emiten akan berusaha menjual sahamnya dengan harga yang setinggi-tingginya, di lain pihak underwriter sebagai pihak yang memberikan jasa untuk menjual saham, berusaha agar seluruh saham tersebut terjual, sehingga mereka akan berusaha menurunkan harga dengan meminta diskon kepada emiten, demikian pula dengan investor sebagai pihak pembeli berusaha untuk membeli saham tersebut dengan harga yang semurah-murahnya.
Menurut Damora (1994) Teori yang biasa digunakan untuk menghitung harga saham dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) yaitu Discounted Cash Flow Model (Model DCF) dan Relative Valuation Model (Model RV). Pendekatan model DCF mengatakan bahwa nilai intrinsik suatu saham adalah sama dengan nilai sekarang (present value) dari arus kas yang diharapkan akan diterima oleh pemilik saham tersebut dimasa mendatang, sedangkan pendekatan dari model RV adalah berdasarkan kemampuan perusahaan menghasilkan earning, kemudian dihitung nilai earning per share (EPS) atau price earning ratio (PER) dan dibandingkan dengan nilai EPS dari kelompok industri perusahaan tersebut. Model ini adalah pengembangan dari model DCF.
Metode dalam penetapan harga IPO yang ada sekarang ini (tradisional) berasal dari 2 (dua) model yaitu model Discounted Cash Flow (Model DCF) dan model Relative Valuation (Model RV). Masing-masing model ini mempunyai keunggulan dan kelemahan, namun yang pasti keduanya belum dapat menetapkan harga IPO yang optimum, ini dibuktikan dengan data empiris dimana sebagian besar harga IPO undervalue dan sebagian kecil overvalue waktu saham tersebut dicatatkan di Bursa (listing).
Selain itu dalam melakukan analisis dan memilih saham ada 2 (dua) pendekatan dasar, yaitu analisis fundamental dan analisis teknikal. Analisis fundamental mencoba memperkirakan harga saham di masa yang akan datang dengan memperkirakan nilai dari faktor-faktor fundamental yang mempengaruhi harga saham di masa datang. Selain itu, Analisis ini juga mencoba menerapkan hubungan variabel-variabel tersebut sehingga diperoleh taksiran harga saham. Model ini sering juga disebut share price forecasting model.
Pendekatan yang kedua adalah analisis teknikal. Pendekatan ini mencoba memperkirakan harga saham dengan mengamati perubahan harga saham tersebut di waktu yang lalu berdasarkan anggapan bahwa harga saham mencerminkan informasi yang relevan. Dalam analisis teknikal, informasi itu ditunjukkan oleh perubahan harga di waktu yang lalu, serta perubahan harga akan mempunyai pola tertentu dan pola tersebut akan berulang.
Dalam metode penetapan harga IPO terdapat Model Valuasi Discounted Cash Flow (Model DCF). Model ini melihat nilai asset sebagai present value dari asset tersebut. Model ini memerlukan informasi berupa perkiraan umur asset, cash flow serta besarnya discount.
Model DCF ini dikembangkan oleh Wiese (1930) yang mengatakan bahwa harga suatu asset sekuritas apakah itu saham atau obligasi adalah jumlah dari seluruh pendapatan yang akan diterima dimasa dating dengan diskon sebesar suku bunga saat ini untuk mendapatkan nilai present value nya.
Keuntungan model DCF adalah valuasi berdasarkan nilai fundamental suatu aset, sehingga hasilnya lebih rendah dari persepsi pasar. Keuntungan kedua dari model DCF ini adalah investor yang baik adalah membeli bisnis bukan saham, maka model DCF adalah cara yang tepat untuk menentukan kapan harus membeli asset. Selain itu, dengan model ini Valuasi dengan DCF memaksa kita untuk berpikir mengenai karakteristik dari perusahaan dan mengerti tentang bisnisnya.
Di samping keunggulan, Model DCF ini juga memiliki beberapa kelemahan. Model DCF membutuhkan lebih banyak input dan informasi dibandingkan denga pendekatan valuasi lainnya. Kelemahan kedua adalah Input dan informasi ini tidak hanya sukar diperkirakan namun juga dapat dengan mudah dimanipulasi oleh siapapun yang menginginkannya. Kelemahan terakhir adalah tidak ada jaminan sesuatu perusahaan akan tumbuh terus.
Selain model DCF, terpadat pula model lain yakni Model Relative Valuation (Model RV). Model ini dibuat berdasarkan kemampuan perusahaan menghasilkan earning, kemudian dihitung nilai earning per share (EPS) atau price earning ratio (PER) dan dibandingkan dengan nilai EPS dari kelompok industri perusahaan tersebut.
Model ini dikembangkan oleh Molodovsky (1965) dan merupakan pengembangan dari model pertumbuhan tetap (model Gordon). Molodovsky mengatakan bahwa besarnya rasio dividen adalah fungsi dari pertumbuhan pendapatan.
Keuntungan model RV adalah Valuasi model RV lebih mencerminkan persepsi pasar dibandingkan model DCF. Keuntungan lainnya adalah model ini selalu ada proporsi yang jelas dari sekuritas yang undervalued dan overvalued. Model ini juga cocok bagi manajer yang kinerjanya dinilai dengan membandingkan prestasinya relatif terhadap manajer perusahaan lain. Model ini membutuhkan lebih sedikit informasi dibanding model DCF.
Namun, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan ketika menggunakan model ini. Bisa terjadi portfolio sekumpulan saham yang undervalue, dengan perhitungan relative bisa jadi masih overvalue. Model ini menggunakan asumsi bahwa pasar adalah benar, kesalahan hanya ada pada masing-masing sekuritas. Kelemahan lain dari model ini adalah membutuhkan lebih sedikit informasi karena asumsi secara implisit dibuat tentang variabel lain, apabila asumsi ini salah maka hasil perhitungan dengan model RV juga akan salah.