Tantangan Internet untuk Perubahan Pendidikan

OPINI 04 September 2021

Oleh: Tri Hidayati

Dosen Prodi Teknik Informatika

Universitas Pamulang

“Education has evolved beyond the four walls of a classroom, it has become a compulsory phenomena of constant acquisition of knowledge geared towards solving immediate problems and this was possible because education transformed itself to becoming accessible even in your bedroom.”

-Victor Vote

credit foto: dogmagazine.com

Perubahan cara penyimpanan pengetahuan akan mengubah cara pembelajaran. Semenjak bangsa mesir menemukan tulisan lebih dari 3000 tahun yang lalau, cara untuk belajar dan menyebarkan keilmuan telah berubah. Begitu juga ketika mesin cetak Guttenberg beroperasi. Buku-buku bisa tersedia bagi warga bisa dan ilmu pengetahuan tidak lagi dimonopoli oleh segelintir kelompok saja. Ketika teknologi komunikasi berkembang pesat dan data bisa ditransfer dengan kecepatan cahaya melalui serat optik, lalu apa yang berubah dalam sistem pendidikan kita?

Penyimpanan pengetahuan di masa lalu

Dengan adanya media baru untuk menyimpan maka akan terjadi perubahan cara dalam belajar. Ketika tulisan ditemukan oleh bangsa Mesir kuno, mereka bisa mengembangkan daya pikir yang lebih jauh dan tidak lagi mengandalkan ingatan untuk menyimpan pengetahuan. Perubahan juga terjadi ketika media tulis berganti dari batu ke kertas. Ketika batu digunakan sebagai media, maka hanya hal-hal penting dan fenomenal saja yang layak untuk diukirkan. Namun ketika beralih ke kertas, berbagai pengetahuan bisa disimpan untuk dipelajari oleh masyarakat luas.

Setiap media tulis memiliki keunggulan masing-masing. Saat ini kita bisa menyaksikan betapa tingginya peradaban Mesir Kuno dari batu Rosetta atau sangat berwibawannya raja Hammurabi dengan titah yang ditulis di tugu prasasti. Batu memberikan durabilitas dan kemegahan, namun tidak dengan mobilitas.

credit foto: africa.chinadaily.com

Pada abad pertama masehi Ts’ai lun menemukan cara membuat kertas. Media ini dengan cepat menjadi populer dan diadopsi di berbagai belahan dunia, termasuk Eropa. Dengan segera, kertas yang lebih murah  dan ringan telah menggantikan papyrus, tanah liat, batu dan kulit domba sebagai media tulis. Melalui kertas, ilmu pengetahuan semakin mudah untuk disebarluaskan. Dengan semakin populernya kertas, membuat pusat-pusat pendidikan tidak akan lengkap tanpa kehadiran koleksi buku dan kitab. Sistem pembelajaran yang sangat berpusat pada guru dan sistem hafalan dan oral bergeser dengan dualisme pengetahuan yang tidak terpisahkan: buku dan guru. Berbagai pusat ilmu pengetahuan di zaman itu semakin menekankan penguasaan baca-tulis. Hingga saat ini, kemampuan baca-tulis menjadi salah satu penanda intelektualitas.

Mesin cetak Guttenberg dan berseminya pengetahuan di Eropa

Salah satu moto dalam kebangkitan ilmu pengetahuan di Eropa adalah “sapere aude” atau berani berpikir sendiri. Keberanian untuk berpikir sendiri tidak bisa dilakukan jika sumber-sumber pengetahuan masih dibatasi dan disimpan oleh segelintir orang. Oleh karena itu, semangat untuk berpikir dan menemukan pengetahuan pada masa itu didorong oleh semakin luasnya akses buku. Penemuan mesin cetak Guttenberg telah merevolusi moda produksi buku.

Mesin cetak juga mengubah bentuk tulisan. Alfabet latin yang kita gunakan sebelumnya ditulis dengan model tegak bersambung. Namun tulisan bersambung yang ada saat itu menyulitkan dalam sistem mesin cetak. Mesin cetak membuat cetakan huruf-huruf  secara terpisah dan sulit membuat cetakan huruf yang bersambung. Oleh karena itu, sistem tulisan beradaptasi agar sesuai dengan teknologi yang ada. Guttenberg menggunakan timah untuk mencetak huruf-huruf secara terpisah. Hasil dari mesin cetak Guttenberg ini adalah munculnya model tulisan tegak tidak bersambung yang umum kita gunakan sekarang.

credit foto: thebalacecareer.com

Sebelumnya setiap salinan buku ditulis dengan tulisan tangan dengan ketelitian yang tinggi dan memakan waktu lama. Dengan adanya mesin cetak, buku-buku bisa diproduksi secara cepat, massal dan biaya yang jauh lebih murah. Buku yang dulunya hanya dimiliki oleh kaum biarawan dan bangsawan, kini telah tersedia di rak-rak masyarakat biasa. Ketersediaan buku yang luas tersebut membuat pusat belajar tidak hanya di biara atau universitas, namun meluas pada café-café di pinggir jalan dan ruang-ruang keluarga di setiap rumah. Munculnya teknologi penyimpanan pengetahuan yang baru membuat otoritas pengetahuan menjadi menyebar dan tempat belajar menjadi meluas. 

Internet dan banjir informasi

Kehadiran internet banyak sekali mengubah manusia baik dalam segi ekonomi, sosial, budaya dan pendidikan. Tidak seperti pendahulunya yang internet tidak hanya mengubah, namun merevolusi. Prasasti batu hanya diperuntukkan bagi raja-raja, buku-buku adalah buah karya eksklusif kaum intelektual. Namun, internet adalah milik kita semua. Hampir setiap orang sekarang ini meninggalkan jejak digital. Mengkonsumsi dan memproduksi informasi melalui dunia maya dari berbagai platform.

Memang adalah sebuah kebaikan ketika setiap orang memiliki akses pada informasi dan mempunyai kesempatan untuk memberikan informasi. Namun, dengan banyaknya produksi data tersebut,  apa yang ada adalah suatu “tsunami informasi”. Dalam hitungan detik, orang bisa mengakses berita terkini dari berbagai belahan dunia. Penggandaan buku dan naskah-naskah pengetahuan tidak melewati proses mekanis yang rumit. Hanya dengan copy dan paste, buku ribuan halaman bisa digandakan dalam sekejap. Kecepatan atas informasi dan penyebaran data yang begitu luar biasa ini alih-alih memberikan pengetahuan baru, hal ini hanya menjadi tumpukan informasi tanpa makna. Tidak sedikit dari kita yang akhirnya terjebak dan hilang dalam rimba raya data.

Dengan adanya internet ini, apa yang menjadi penting bukan seberapa banyak kita membaca, namun sepandai apa kita memilah bacaan dan mengevaluasinya menjadi pengetahuan yang berguna dan bermakna. Tanpa internet literacy yang cukup, orang bisa dengan mudah terjebak untuk mengakses data-data yang tidak valid dan termakan oleh informasi hoax. Ketidak mampuan untuk menilai validitas pengetahuan di internet adalah masalah penting yang bisa membuat belajar seorang menjadi sia-sia. Oleh karena itu, belajar online bukan sekadar membuka YouTube, mengakses website dan berceloteh di grup media sosial, namun kemampuan untuk menemukan informasi yang benar dan valid dan menyerapnya menjadi pengetahuan.  Sekarang ini kita banyak temukan bagaimana sesorang dipengaruhi oleh berita hoax, pseudo-science, dan data palsu. Hal ini bukan karena orang tersebut tidak mendapat akses pengetahuan dan internet, namun karena ketidakmampuannya memilah informasi. Inilah realitasnya dan ini adalah masalah yang harus dihadapi di dunia pendidikan. Pembelajaran online bukan sekadar “online-nisasi” pembelajaran.

Migrasi ke Internet

Setiap media memiliki keunggulan tersendiri. Namun ketika perubahan terjadi, suatu hal yang lama harus ditinggalkan untuk memaksimalkan potensi yang baru. Ketika kertas digunakan, masyarakat paham betul bahwa media tersebut sangat rapuh dan mudah rusak. Jika dibandingkan dengan kulit domba atau batu, kertas bukanlah tandingan soal kekuatan. Di lain sisi, kertas menawarkan kemudahan dan mobilitas. Ilmu pengetahuan akan lebih mudah ditransfer dan disebarluaskan melalui media kertas. Pada saat itu masyarakat sadar bahwa mereka harus beranjak dari kebiasaan lama dengan segala keunggulannya untuk menyongsong media baru dengan segala potensinya. Mobilitas dan kemudahan kertas telah membuat benih-benih pencerahan menyebar di segala penjuru tempat.  

Kedatangan internet sesungguhnya memberikan berjuta potensi, namun masih banyak kalangan yang enggan “move on” dari romantika masa lalu. Pengaruh internet yang pesat telah memaksa berbagai bidang berubah dan mengadopsi sistem online. Begitu juga dengan dunia pendidikan. Saat ini, kita menyaksikan suatu gemuruh dan hasrat yang tinggi dalam hal pendidikan berbasis digital. Namun, apa yang disayangkan adalah sekadar pemindahan cara lama belajar ke media baru. Layaknya hidup dalam zaman menulis dalam batu tapi menggunakan kertas. Seolah-olah membawa alat pahat batu untuk menulis di kertas dan berharap kertas bisa sekuat batu.

credit foto: AdobeStock

Sebelum datangnya era digital, masyarakat melaksanakan pendidikan di ruang-ruang kelas, adanya interaksi antara guru dan murid dan referensi pada buku atau diktat. Masyarakat kita telah mengalami sistem pendidikan seperti ini selama berabad-abad. Kita telah menjadi saksi atas kesuksesan model seperti ini. Ketika era internet datang, apa yang ada dalam pikiran masyarakat kita adalah memindah segala bentuk model pembelajaran tersebut ke ruang maya internet. Kita membuka ruang-ruang pembelajaran maya di website. Kita membuat konferensi video antara guru dan murid. Kita memformat buku-buku menjadi bentuk digital. Apa yang berubah? Tidak ada, hanya tempatnya saja.

Era cara belajar baru dengan internet

Apa yang salah dengan model pembelajaran lama? Memang apa yang telah menjadi tradisi dalam pendidikan dan pembelajaran bukan sesuatu yang salah. Terkadang dalam belajar kita perlu restriksi dan ekslusivitas ruang, interaksi interpersonal dan referensi pengetahuan. Namun, ketika kita beralih ke dunia digital, kita harus paham betul potensi yang dimiliki oleh internet. Kita tidak boleh terjebak dengan tradisi masa lalu dan mengabaikan potensi besar internet. Berbagai hal yang ada sebelumnya memang baik, namun bukan satu-satunya cara belajar dengan dan di dalam internet. Apa yang kita saksikan sekarang ini adalah usaha mati-matian memindah sistem belajar di kelas ke dalam internet, namun lupa potensi besar yang disediakan internet.

Internet adalah dunia yang begitu luas. Setiap orang bisa berpartisipasi untuk memberikan pengetahuan dan setiap orang bisa dengan mudah mendapatkan pengetahuan. Dengan internet kita bisa menemukan puluhan juta buku dan ratusan juga jurnal ilmiah. Kita juga bisa menyaksikan berbagai kuliah dari universitas kenamaan dunia dan video-video dokumentasi ilmiah. Akses yang hampir tanpa batas ini adalah potensi yang luar biasa. Anda bisa bayangkan betapa terbatasnya perpustakaan fisik kita yang hanya menyimpan ribuan koleksi buku. Itu pun membutuhkan ruang dan tata kelola yang tidak sedikit. Jika dibandingkan dengan internet, anda bisa mendapatkan buku-buku terbaru dan koleksi klasik dengan waktu singkat. Hasil penelitian terbaru dari berbagai belahan dunia juga dengan mudah bisa diakses. Berbagai hasil skripsi, tesis dan disertasi bisa diperoleh dari repository.

Ilmu pengetahuan belum pernah terkonsolidasi sebanyak ini sebelumnya. Dengan melimpahnya data pengetahuan tersebut adalah kurang tepat memfokuskan pembelajaran pada ruang yang terbatasi dan terpaku pada transfer pengetahuan dari guru-murid. Berbagai akses pengetahuan dari puluhan juta buku dan jurnal adalah medan pendidikan sekarang ini. Seorang pembelajar bisa memperoleh pengetahuan dari mengakses naskah ilmiah dan video dari database di Internet. Ruang kelas memang masih dibutuhkan dan penting, namun bukan yang utama. Pembelajaran saat ini harus bisa dilatih mandiri untuk menemukan pengetahuan mereka sendiri yang melimpah ruah dan membuka potensi yang menakjubkan dari internet. Era ini adalah sama sekali baru. Data dan informasi berserakan di mana-mana dan tugas pendidikan adalah memberi bekal cara menambang pengetahuan yang benar dan tidak terjebak pada pengetahuan yang sesat.

Maka, tantangan dalam era digital saat ini adalah bagaimana memberikan internet literacy pada peserta didik. Pendidikan harus membuka ruang belajar yang lebih luas dengan mendorong peserta didik mengeksplorasi internet untuk mendapatkan pengetahuan. Peserta didik harus dibekali pengetahuan yang baik tentang bagaimana menemukan data dan naskah ilmiah yang bisa mereka percaya sebagai pengetahuan yang valid.  Pencarian buku-buku referensi, artikel jurnal yang kredibel, website yang terpercaya dan video-video yang ilmiah adalah kompetensi yang perlu diajarkan. Peserta didik harus bisa mencerna berbagai sumber pengetahuan baik dari buku, artikel, video dan berbagai bentuk lainnya. Kemandirian dan eksplorasi adalah hal yang utama. 

credit foto: emazzanti.net

Internet adalah ruang yang begitu luas, banyak orang di dalamnya dan akses terhadapnya bisa dilakukan kapan saja. Maka dari itu, sistem pembelajaran yang masih terpaku pada ruang tertentu, sosok tertentu dan waktu tertentu akan tidak relevan dengan era digital.  Di era baru ini kita seolah-olah harus menyiapkan penjelajah-penjelajah samudera untuk menaklukan dunia baru dan mendidik para astronot untuk menjelajah angkasa yang maha luas. Tidak ada jaminan bahwa setiap penjelajahan akan berhasil. Tetapi jika kita masih dibayangi ketakutan, maka kejayaan dan kemegahan dunia baru tidak akan pernah ditemukan. Beranikah anda menjawab tantangan?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Next Post

Sosialisasi Pengenalan Manfaat Microsoft Word dan Power Point pada Yayasan Al-Kamilah Kecamatan Bojongsari Kota Depok

Sab Okt 9 , 2021
BeritaDepok, 9 Oktober 2021 Tangseldaily– Dalam rangka memenuhi kewajiban Tri Dharma Perguruan Tinggi, Program Studi Teknik Informatika Universitas Pamulang (UNPAM), Mahasiswa Universitas Pamulang semester 7 telah melaksanakan kegiatan pengabdian kepada masyarakat (PKM) di Serua, Kecamatan Bojongsari, Kota Depok, Yang bertempat di Yayasan AL-Kamilah. Kegiatan ini merupakan kegiatan wajib yang harus […]

You May Like