OPINI 24 Oktober 2021
Wiwit Kurniawan, S.Pd., M.A
Dosen FKIP Universitas Pamulang
Opini-Dunia saat ini tengah menghadapi tantangan yang cukup serius yakni krisis lingkungan yang mengancam umat manusia. Banyak teori yang mengungkapkan bagaimana akar permasalahan munculnya krisis lingkungan. Salah satu teori yang cukup kontroversial adalah dari Lynn White yang mengungkap bahwa berbagai bentuk kerusakan lingkungan berakar pada dogma dan pemahaman keagamaan. Agama adalah pranata yang berumur ribuan tahun yang telah terbukti memberikan panduan moralitas dalam menjaga peradaban dan interaksi atar manusia. Agama sebagai landasan moral dan sumber nilai kemanusiaan yang luhur apakah mungkin menjadi penyebab awal dari kehancuran lingkungan? Lalu bagaimana masyarakat beragama harus menanggapi berbagai persoalan lingkungan, yang sebetulnya baru bagi literatur keagamaan?
Agama sebagai sumber moralitas tentu menitik beratkan pada pengenalan konsep bahwa manusia harus menghormati manusia sebagai landasan atas humanisme. Hal ini tidak salah sama sekali ketika diimplementasikan untuk mereduksi sikap keburukan yang tidak menghargai nilai-nilai kemanusiaan seperti perbudakan, penindasan, dan pembunuhan. Namun, ketika melihat konteks yang lebih luas, humanisme adalah benih yang menumbuhkan sikap-sikap antroposentris. Sikap ini memandang bahwa manusia adalah pusat kosmos dan Tuhan sebagai Sang Pencipta memberikan mandat kepada manusia untuk menguasai alam. Privilese ini yang diperoleh dari paham-paham keagamaan membuat manusia seolah-olah memiliki hak divinitas untuk melakukan apapun pada alam untuk bisa mengambil manfaatnya.
Berbagai konsep keagamaan yang ada umumnya berpusat pada manusia. Dalam latar teater besar kehidupan, manusia adalah pemeran utama. Manusia memiliki panggung dan berhak menentukan bagaimana plot sejarah bergerak. Sedangkan sekeliling manusia, baik pohon, air, hewan dan tanah adalah figuran yang tidak bermakna tanpa kehadiran manusia sebagai peran utama. Berbagai siklus kehidupan dalam konsep keagamaan menjadikan manusia sebagai landasan utama. Kehidpuan setelah kematian dalam narasi berbagai kitab suci juga lebih menggambarkan bagaimana nasib manusia.
Nuval Noah Harari dalam bukunya Sapiens: Brief History of Humankind menjelaskan bahwa manusia memiliki potensi yang luar bisa sehingga menjadi spesies di bumi yang mendominasi. Tidak seperti spesies lain di muka bumi yang berusaha beradaptasi dengan lingkungan, manusia dengan daya nalarnya berusaha untuk menciptakan lingkungan yang sesuai dengan dirinya. Maka, tidak salah banyak ilmuan menyebut zaman ini sebagai zaman anthropoche atau zaman manusia.
Di manapun berada, manusia memiliki dampak yang sangat besar pada lingkungan. Kita melihat sendiri bagaimana hutan hujan tropis yang lebat di Amazon dan Kalimantan telah berubah menjadi lahan pertanian dan pemukiman. Kita juga menjadi saksi bagaimana bebagai sisa limbah manusia telah mencemari lautan yang luas. Harari mengungkap bahwa dampak signifikan manusia pada lingkungan tidak hanya terjadi pada masa modern ini. Di masa lalu ketika manusia telah mencapai benua baru Australia, bukti arkeologis menunjukkan adanya kepunahan masal yang luar bisa pada hewan-hewan di sana, seiring datang dan berkembangnya manusia.
Sejarah agama adalah sejarah manusia. Sejak kemunculan manusia, mereka berusaha untuk memahami hakikat kehadiran mereka di dunia dan mencari realitas tertinggi. Agama muncul dan tumbuh berkembang sejalan perkembangan kebudayaan dan peradaban manusia. Serta, tidak bisa dipungkiri bahwa agama memiliki andil dalam pembentukan peradaban. Sejarah mencatat bahwa kebudayaan Islam merupakan manifestasi dari keagamaan yang kuat. Begitu juga kebangkitan Eropa dengan renaissance nya tidak bisa dilepaskan dari peran kaum agamawan dalam membangun tradisi keilmuan yang inklusif. Di balik tindakan-tindakan masyarakat, ada agama di baliknya.
Sebagai bagian dari manusia, agama memberi makna kehidupan dan sumber nilai untuk menuntun perbuatan manusia. Di sinilah sumber-sumber antroposentris muncul dalam kebudayaan manusia. Konsep bahwa alam disediakan oleh Tuhan untuk manusia dan manusia adalah penguasa alam merupakan justifikasi moral bagai perbuatan-perbuatan manusia yang mengeksploitasi alam.
Tentunya pemikiran Lynn White bukan satu-satunya usaha untuk mengungkap akar dari persoalan ekologis. Pemikir Islam, Seyyed Hossein Nasr melihat bahwa persoalan ekologi bukan bersumber pada agama, namun pada pemikiran non-agama. Eksploitasi dan dominasi manusia atas alam bukan bersumber dari agama, namun pemikiran modern dan pandangan materialisme atas alam. Dalam pandangan modernitas, alam dianggap sebagai materi atau variable yang tidak memiliki jiwa. Oleh karena itu, bisa diperlakukan pada saja dan penaklukan atasnya adalah suatu prestasi dan kemajuan. Nasr melihat hilangnya pandangan spiritualitas atas alam adalah penyebab kehancuran lingkungan. Pemikiran perenialisme dari Nasr melihat bahwa ada segi-segi spiritual dalam alam. Bagi Nasr, alam adalah sesuatu yang suci sebagai suatu bentuk ciptaan Tuhan. Oleh karena itu, penghormatan kepada alam adalah suatu bentuk penghormatan kepada Tuhan. Hilangnya spiritualitas seperti itu menyebabkan manusia menindas alam secara semena-mena.
Terlepas dari asal-muasal krisis lingkungan, apa yang ada di hadapan kita adalah manusia memegang kendali atas kondisi lingkungan saat ini. Populasi manusia sebesar 7,85 milyar adalah variabel yang signifikan untuk menentukan nasib planet ini. Pola hidup dan kebiasaan kita akan berdampak besar pada kondisi lingkungan. Jika kita masih tetap mempertahankan kemajuan dan pertumbuhan ekonomi dari bahan bakar fosil dan menghasilkan limbah berbahaya bagai lingkungan, maka nasib planet ini akan diujung tanduk. Baik kerusakan ini bermula dari modernitas atau agama, manusia adalah penentu masa depannya.
Agama sebagai sumber nilai dan penuntun perilaku memiliki peran vital dalam membentuk pola hidup dan perilaku manusia. Dogma dan ajaran keagamaan harus memiliki visi dan tafsiran baru untuk menghadapi ada yang sebelumnya belum dianggap serius oleh kemanusiaan, kiris ekologi. Tidak seperti aturan formal atau hukum legal yang mengatur perilaku manusia di tataran publik, agama mampu menjangkau perilaku manusia di lingkup yang paling dalam. Niat, perilaku keseharian, dan kebiasaan manusia dibentuk oleh agama. Oleh karena itu, agama harus mampu menjadi penerang bagi problematika yang dihadapi manusia, sama seperti apa yang dilakukan berabad-abad lalu.