OPINI
Wiwit Kurniawan, S.Pd., M.A
07 Juli 2022
Saat ini, kita hidup di zaman sains dan teknologi. Hampir dalam setiap sendi kehidupan, dalam setiap waktu dan kegiatan, sains dan teknologi selalu hadir. Sekedar membuat secangkir kopi maupun merancang pesawat ruang angkasa, sains selalu memberikan sentuhannya. Sains, bagaimanapun juga, telah mengubah kehidupan kita pada zaman ini secara drastis.
Perlu kita ingat, sains tidak hanya melahirkan teknologi yang mempermudah kerja manusia, namun sains juga memberikan suatu pandangan baru atas dunia yang kita huni. Dan di sisi lain, agama selama ribuan tahun, telah lama menjadi penuntun pandangan manusia atas Tuhan, dunia dan isinya. Pada titik inilah -suatu persentuhan yang tidak bisa dielakkan- memungkinkan untuk terjadinya conflactin (pencampuradukan), contras (pemisahan), conflict (perseteruan), cooperation (kerjasama) antara sains dan agama. Lalu, dimana posisi Islam dan bagaimana Islam menghadapi tantangan zaman sains ini? Selain itu, bagaimana posisi Muhammadiyah dan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) secara spesifik dalam persinggungan ini?
Agama dan Sains di Barat
Relasi Agama dan sains dalam konteks peradaban Barat, terjadi banyak konflik. Seperti penolakan teori heliosentris oleh gereja. Ada beberapa pemikir yang pemikirannya dipandang meruntuhkan langit suci kaum agamawan, yakni: Copernicus, Galileo, Kepler, Newton. Merekalah empat raksasa peruntuh langit spiritual (Supeli, 2006). Dengan penemuan mereka, bintang dan langit yang dianggap sebagai penjelmaan para dewa dan tahta Tuhan yang berupa ruang yang tidak terjangkau oleh manusia, mulai dirambah dan dicacah sampai detail-detailnya (Sudarminta, 2006). Dengan lahirnya zaman sains di Barat, sikap dogmatis atas fenomana alam digantikan dengan penalaran, eksperimen dan observasi ilmiah. Walaupun mendominasi, agama terus berusaha menunjukkan relevansinya di masyarakat barat, baik dengan cara bersekutu dengan sains atau menempatkan diri sebagai obat sprititual manusia yang merasa kering jiwanya diantara tandusnya masyarakat mekanis dan rasional.
Agama dan Ilmu pengetahuan dalam peradaban Islam
Dalam sejarah peradaban Islam, tidak bisa dipungkiri bahwa peradaban Islam pernah menjadi garda depan kemajuan pengetahuan dan teknologi, kala itu. Para pemikir Islam mempelajari dan mengembangkan pengetahuan dari berbagai peradaban besar seperti India, Yunani, Babilonia (Persia) dan Mesir. Dalam sejarah peradaban Islam, ilmu pengetahuan yang dipelajari oleh pemikir Islam dari berbagai beradaban, masih mengandung konten mistikal dan teologis. Geometri yang berasal dari sekte Phytagorean tentu memuat pandangan yang mengkultuskan angka dan perbandingan suatu bilangan. Begitu pula dengan ilmu perbintangan Babilonia yang mengandung unsur mitologis dan peramalan.
Agar tidak bertentangan dengan akidah Islam, pemikir islam menyingkirkan hal yang metafisis dari ilmu pengetahuan yang mereka pelajari. Mereka mempelajari geometri Phytagorean, namun bukan ajaran mistiknya. Pada hal ini, Ibnu Sina juga menghapus astrologi dari filsafat alam (Bagir, 2005). Dengan melakukan “sekularisasi ” pengetahuan inilah, pemikir Islam yang berjiwa tauhid tidak merasa adanya pertentangan dengan berbagai ilmu yang mereka pelajari (Bagir, 2005). Dengan cara ini, konflik agama dan ilmu pengetahuan telah diminalisir dengan baik.
Walaupun pada Abad pertengahan pemikir Islam melakukan sekularisasi, namun menarik untuk catat bahwa pada sekarang ini banyak pemikir Islam mencoba untuk melakukan internalisasi teologi pada ilmu atau sains barat yang dianggap kering spiritual. Wacana Islamisasi pengetahuan dari Said Hossein Nasr merupakan salah satu contohnya. Namun, wacana Nars tersebut kritik sebagai bentuk sains yang tidak masuk akal dan cenderung pada hal mistik oleh Sardar. Dalam hal ini, Nidhal (2010) memberi catatan penting bahwa usaha untuk membentuk sains yang dibalut dengan jubah ketuhanan tidak akan menghancurkan pilar-pilar dan ketinggian bangunan dan pencapaian dari sains yang begitu indah, hanya jika usaha itu benar-benar didasari pemahaman berbagai aspek termasuk memahami mana wilayah metafisik dan mana wilayah metodologis.
Agama dan Sains dalam konteks Indonesia
Dalam konteks Islam di Indonesia, harus melihat konstelasi agama (Islam) dan sains dalam perspektif kajian pos kolonial. Sains modern masuk ke dunia Muslim melalui negara Barat yang berposisi sebagai penjajah (Bagir, 2006). Sehingga, ada suatu resistensi dari yang terjajah atas apa saja yang dibawa sang penjajah, termasuk sains modern. Namun, di sisi lain, ada usaha dari yang terjajah untuk sederajat dengan penjajah, dengan melakukan mimicri (peniruan) atas apa yang penjajah miliki, termasuk menguasai sains Barat tersebut. Dengan perspektif ini, kita bisa melihat kenapa dunia Islam masih ketinggalam dalam sains. Penolakan sains diantara mereka dilakukan karena mereka merasa sains dan teknologi berasal dari penjajah yang sewajarnya kita tolak dan sains mereka tidak sejalan dengan konsep Islam. Di lain sisi, bagi mereka yang menerima sains, mereka menerimanya dalam kondisi sebagai yang terjajah. Logika yang dibangun dari dua kondisi ini adalah: yang terjajah derajatnya rendah, dan penjajah kedudukannya lebih tinggi. Artinya, yang terjajah memiliki perasaan rendah diri dihadapan penjajah. Sehingga, walaupun mereka menerima sains, mereka merasa tidak percaya diri untuk mengembangkan dan lebih cenderung sebagai pengikut Barat yang dianggap derajatnya lebih tinggi. Ini yang perlu kita sadari.
Sisi gelap Sains dan Teknologi
Ada beberapa sisi negatif sains dan teknologi yang perlu diwaspadai, baik efek negatif teknologi (e.g. polution) juga materialistic worldview. Sains yang melahirkan zaman modern telah mulai memasuki masa kritisnya. Berbagai efek samping sains dan teknologi telah dirasakan oleh umat manusia. Ancaman perlombaan senjata nuklir, limbah plutonium, pencemaran udara, global warming, kelangkaan air bersih, kesenjangan sosial, kemiskinan, degradasi moral, kekeringan spiritual merupakan akibat negatif dari sains reduksionis dan mekanis ala Newtonian dan Cartesian.
Capra (1983) menilai bahwa berbagai krisis tersebut muncul dari sains yang dilandasi pemikiran dari Newton dan Copernicus yang mekanis, materialistik dan parsial. Dengan sains tersebut, alam dan manusia dipandang sebagai mesin mekanis yang untuk mempelajarinya bisa dibagi menjadi bagian-bagain tertentu, inilah yang membuat sains tidak holistik. Sains hanya mengejar efisinesi dan keuntungan suatu sisi, namun mengorbankan sisi lain (Capra, 1983). Sains menciptakan mobil dan kereta, namun disisi lain harus menyemburkan berton-ton gas karbonmonoksida pada udara per harinya.
Dari pandangan Capra di atas, perlu kita renungkan bahwa sains dan teknologi yang kita pelajari tidaklah netral. Sains dan teknologi bukan sekedar alat yang bebas nilai. Untuk tujuan apapun motor yang kita kendarai, menabrak orang atau menolong Ibu yang mau melahirkan, tetap kita menyemprotkan gas karbon dari knalpot motor kita. Maka, ada nilai yang melekat pada teknologi. Mereka bukan sekedar alat, justru terkadang kita yang diperalat. Waspadalah. Dus, fakta ini perlu kita ambil sebagai pertimbangan dalam wacana Islam dan sains.
Islam dan sains dalam konteks Muhammadiyah
Muhammadiyah dan sains sudah lama menjalin hubungan yang cukup mesra. Meluruskan arah kiblat dan menentukan satu syawal dengan hisab merupakan proses yang memerlukan terlibatnya sains dalam urusan tersebut. Dalam dua hal itu, Persyarikatan Muhammadiyah telah menjalankannya dengan konsisten. Paradigma Muhamadiyah berupa “ilmu yang amaliyah dan amal yang ilmiah”, merupakan bukti bahwa Muhammadiyah tidak ragu dalam bersentuhan dengan sains. Pada titik dimana sains digunakan sebagai instrumen, sains memberikan manfaat dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Namun ketika sains modern berlaku sebagai suatu pandangan atas dunia dengan perspektif rasionalisme dan materialisme-nya, mungkin Muhammadiyah perlu mawas diri. Lalu, bagaimana Muhammadiyah menyikapi pandangan sains yang rasional dan materialis itu?
Ada tiga pemikir muhammadiyah memberikan kontribusi pemikirannya tentang sains dan agama, yakni Kuntowijoya, Amin Abdullah dan Agus Purwanto. Walaupun Kuntowijoya dan Amin Abdullah tidak membahas secara khusus sains, dan cenderung menggunakan istilah ilmu yang – menurut saya- condong pada ilmu sosial-humaniora, namun pemikiran mereka tetap perlu ditinjau sebagai pijakan karena memberikan landasan epistemologi keilmuan yang mantap.
Dalam pandangan Islam dan ilmu, Kuntowijoyo memberikan kritik atas islamisasi Ilmu yang cenderung reaktif. Kunto memandang Islam harus melangkah lebih jauh dari teks menuju konteks, Islam harus menjadi paradigma dan pemikir muslim bisa menerapkan teks ajaran Islam kedalam realitas (Kuntowijoyao, 2006). Sebagai pengganti islamisasi ilmu, ia menawarkan konsep pengilmuan Islam.
Selain Kunto, Amin Abdullah juga memberikan perhatian tentang masalah ini. Ia mengkritik adanya dikotomi yang terjadi antara Ilmu agama dan non-agama. Dari dikotomi ini, konsekuensinya Islam dikaji dalam dua prespektif, yakni secara normatif dan secara historis. Amin Abdullah, sebagai pemikir Islam membangun pendekatan keilmuan Islam yang tidak melakukan dikotomi antara ilmu agama dan ilmu dunia. Ia mengusulkan ide berupa pendekatan integratif-interkonektif. Dalam pandangannya, setiap disiplin keilmuan perlu bertegur sapa dan saling terhubung untuk bisa menggambarkan realitas dengan lebih jelas. Ketika bangunan-bangunan keilmuan itu saling membelakangi, maka cepat atau lambat akan berubah menjadi narrowmindedness alias pola pikir yang amat sempit dan menyempitkan bagi yang lain (Abdullah, 2006). Kajian Islam tidak bisa berdiri sendiri, namun memerlukan disiplin ilmu yang lain sebagai pelengkap, begitu pula disiplin ilmu yang lain dimana memerlukan sentuhan keilslaman.
Dalam perspektif sains, Agus Purwanto dalam bukunya “Nalar Ayat-ayat Semesta” berusaha melakukan pertautan antara Islam dan sains. Dalam buku tersebut, ia mencoba menafsirkan berbagai ayat-ayat Al-Quran dan Mukjizat Nabi dengan penjelasan-penjelasan fisika moden.
This article previously has been published in the writer’s personal blog with the title: Relasi Islam dan Sains: Sebuah Tantangan Bagi Dunia Islam dan Mahasiswa Muslim