OPINI
Tri Hidayati, S.Pd., M.A
08 Juli 2022

Salah satu bidang ilmu yang menggunakan kemampuan berpikir yang cukup tinggi adalah matematika dan dipelajari di setiap jenjang pendidikan (Husnul, 2013:2). Geometri menempati posisi khusus dalam kurikulum matematika karena banyak konsep-konsep yang termuat didalamnya. Dari sudut pandang psikologi, geometri merupakan penyajian abstraksi dari pengalaman visual dan spasial, misalnya bidang, pola, pengukuran, dan pemetaan. Sedangkan dari sudut pandang matematik, geometri menyediakan pendekatan-pendekatan untuk pemecahan masalah misalnya gambar-gambar, diagram, sistem koordinat, dan vektor.
Tujuan pembelajaran geometri adalah agar siswa memperoleh rasa percaya diri mengenai kemampuan matematikanya, menjadi pemecah masalah yang baik, dapat berkomunikasi secara matematik, dan dapat bernalar secara matematik (Bobango, 1993: 148) dalam Husnul (2013:2). Selanjutnya Bobango (1993: 148) menyatakan bahwa tujuan pembelajaran geometri adalah agar siswa memperoleh rasa percaya diri pada kemampuan matematikanya, menjadi pemecah masalah yang baik, berkomunikasi secara matematik dan bisa bernalar secara matematik.
Untuk mendapatkan hasil yang diinginkan yaitu anak memahami geometri dengan pengertian, kegiatan belajar anak harus disesuaikan dengan tingkat perkembangan anak atau disesuaikan dengan taraf berpikirnya. Dengan demikian anak dapat memperkaya pengalaman dan berpikirnya, selain itu sebagai persiapan untuk meningkatkan tahap berpikirnya kepada tahap yang lebih tinggi dari tahap sebelumnya.
Matematika sekolah memberikan dasar pemahaman tentang keruangan melalui dasar-dasar teori geometri. Pembelajaran geometri yang membangun aktivitas praktis dan pemahaman konseptual dalam pembelajaran matematika sekolah sangat diperlukan. (Chairani, 2013:1)
Pembelajaran Geometri Van Hiele
Van Hielle dalam (Chaerani, 2013:22-23) menyatakan bahwa seseorang dalam belajar geometri akan mengikuti 5 tahap perkembangan berpikir yaitu tahap visualisasi,analisis, deduksi informal, deduksi, dan rigor.
Tahap visualisasi
Tahap visualisasi adalah tahap pengenalan konsep-konsep geometri dalam matematika yang di dasarkan pada karakteristik visual atau penampakan bentuknya. Dalam hal ini penalaran siswa masih didominasi oleh persepsinya. Pemahaman siswa terhadap bangun-bangun geometri masih berdasarkan pada kesamaan bentuk dari apa yang dilihatnya. Bangun geometri dikenal secara keseluruhan bukan secara bagian-bagian. Pada tahap ini siswa dapat membedakan suatu bangun dengan lainnya tanpa harus menyebutkan sifat-sifat masing-masing bangun tersebut. Kemampuan berpikir siswa masih berdasarkan pada kesamaan bentuk secara visual. Sebagai contoh, siswa dapat mengenal suatu bagun persegi panjang, karena bentuknya seperti ”papan tulis” . Dalam hal ini siswa belum dapat menyebutkan unsur-unsur persegi panjang seperti panjang dan lebar. Jadi pada tahap ini siswa belum dapat menentukan sifat-sifat dan karakteristik bangun geometri yang ditunjukkan.
Tahap Analisis
Siswa pada tahap ini mengakui dan dapat mencirikan bentuk-bentuk bangun geometri berdasarkan sifat-sifatnya, dan sudah tampak adanya analisis terhadap konsep-konsep geometri. Sebagai contoh, melalui pengamatan, eksperiman, mengukur, menggambar, melipat, membuat model dan sebagainya siswa dapat mengenali karakteristik dan menemukan beberapa komponen yang mencirikan kelas suatu bangun. Meskipun demikian siswa belum sepenuhnya bisa menjelaskan hubungan antara sifat-sifat tersebut. Jadi belum bisa melihat hubungan antara berbagai bangun, begitu pula dalam memahami definisi.
Tahap Deduksi Informal
Pada tahap ini siswa dapat melihat hubungan sifat-sifat dalam suatu bangun (misal dalam jajar genjang, sisi yang berhadapan sejajar berakibat sudut-sudut yang berhadapan juga sama besar. Siswa dapat menyusun definisi abstrak (definisi menjadi bermakna), siswa juga dapat menemukan sifat-sifat dari kumpulan bangun pada tahap berpikir deduksi informal. Ketika siswa menemukan sifat-sifat dari berbagai bangun, mereka merasa perlu mengorgansir sifat-sifat tersebut. Satu sifat bisa menjadi menjadi perantara sifat-sifat lain, sehingga definisi tidak sekedar sebagai bentuk deskripsi, akan tetapi sebagai cara pengorganisasian yang logis.
Tahap Deduksi
Tahap ini juga dikenal dengan deduksi formal. Siswa yang telah mencapai kemampuan berpikir tahap ini telah dapat menyusun teorema-teorema dalam sistem aksiomatis, dapat mengkonstruksi bukti-bukti orisinil. Siswa telah dapat memahami hubungan timbal balik antara syarat perlu dan cukup. Siswa juga berpeluang untuk mengembangkan lebih dari satu cara pembuktian, dan menyadari perlunya pembuktian melalui serangkaian penalaran deduktif.
Rigor
Pada tahap ini siswa bernalar secara formal dalam sistem matematika, dan dapat mengkaji geometri tanpa referensi model-model. Sasaran penalaran adalah hubungan-hubungan antara konstruk-konstruk formal. Produk penalarannya adalah mengelaborasi dan membandingkan sistem-sistem aksiomatis pada geometri.
Menurut teori ini terdapat lima level yang dilalui siswa dalam belajar geometri. Penggunaan level disini bukan untuk mengakategorikan siswa tetapi untuk mengetahui sudah sampai dimana kemampuan berpikir geometri siswa. Siswa secara bertahap melalui kelima level tersebut. Berdsarakan penelitian biasanya berada pada level 0, siswa SMP berada pada level 0 dan 1, sedangkan siswa SMA sudah berada pada level 2 (Husnul, 2013:11).