Opini
Penulis: Amanudin, S.Pd, MM.
Dosen Universitas Pamulang
Negara Indonesia yang kita cintai merupakan wilayah yang alamnya sangat indah, dihuni oleh berbagai suku, agama, adat dan budaya, terdiri dari pulau-pulau yang dipisahkan oleh laut dan selat, masyarakatnya dikenal sangat ramah dan bermoral. Namun akhir-akhir ini gejolak yang terjadi seperti maraknya tawuran, bullying, korupsi, perampokan, narkoba, seks bebas, pelecehan seksual, pembunuhan, kasus mutilasi, dan lain sebagainya kerap terjadi. Tidak dapat dipungkiri memang dalam suatu kehidupan pasti ada yang namanya masalah. Hal tersebut menandakan masyarakat saat ini sedang mengalami gejala degradasi moral atau menurunnya nilai-nilai kebaikan yang ada.
Fenomena degradasi moral melanda hampir diberbagai lapisan masyarakat, salah satunya yang sering terjadi adalah pada kelompok remaja. Generasi muda tentunya memiliki peranan sangat penting bagi suatu bangsa, dipundaknya nasib bangsa ini digantungkan, namun pada kenyataanya kondisi saat ini banyak remaja yang bersikap amoral dan jauh dari harapan para pendiri bangsa ini. Kita masih ingat apa yang dilontarkan oleh founding father kita Bapak Ir. Soekarno “Kirim aku 1000 orang tua niscaya akan kuruntuhkan semeru, namun kirim aku 10 pemuda kan kuguncangkan dunia”.
Dari kata tersebut tersirat makna bahwa peran pemuda sangat ditunggu dan diandalkan dimasa depan. Hampir semua paham bahwa degradasi berarti penurunan, kemunduran atau kemerosotan dari suatu hal sedangkan moral adalah akhlak atau budi pekerti, tingkah laku menurut KBBI. Thomas Lickona (1999) melakukan penelitian dan hasilnya ada 10 indikasi gejala penurunan moral yang perlu mendapatkan perhatian agar berubah ke arah yang lebih baik; 1) Kekerasan dan tindakan anarki, 2) Pencurian, 3) Tindakan Curang, 4) Pengabaian terhadap aturan yang berlaku, 5) Tawuran antar siswa, 6) Ketidaktoleran, 7) Penggunaan bahasa yang tidak baik, 8) Kematangan seksual yang terlalu dini dan penyimpangannya, 9) Sikap perusakan diri, 10) Penyalahgunaan Narkoba. (Materi Bela Negara Angkatan II). *)
sumber gambar: https://www.diedit.com/pantun-pendidikan-4-bait/.
Berikut ini sebuah riset yang dilakukan oleh Reckitt Benckiser Indonesia lewat merek alat kontrasepsi Durex terhadap 500 remaja di lima kota besar di Indonesia, dan hasilnya sangat miris ditemukan, 33% remaja pernah melakukan hubungan seks penetrasi. Dari hasil tersebut, 58% melakukan penetrasi di usia 18 sampai 20 tahun. Selain itu, para peserta survei ini adalah mereka yang belum menikah (liputan6.com). Sedangkan remaja korban narkoba mencapai 1,1 juta atau 3,9 %. Penelitian ini dilakukan pada tahun 2008, dengan mengambil sampel di 33 provinsi di Indonesia lalu bagaimana dengan kondisi tahun 2023 dimana teknologi semakin canggih bahkan tidak terbedung. Selanjutnya menurut Data Pusat Pengendalian Gangguan Sosial DKI Jakarta menyebutkan pelajar SD, SMP, dan SMA yang terlibat tawuran mencapai 0,08% atau sekitar 1.318 siswa dari total 1.647.835 siswa DKI Jakarta. Bahkan, 26 siswa diantaranya meninggal dunia.
Persoalan remaja saat ini tidak sampai disitu saja, akhir-akhir ini banyak bermunculan kasus tentang siswa yang melawan gurunya yang harusnya dihormati. Bahkan sampai ada yang tega menganiaya gurunya sendiri sampai meninggal dunia. Hal ini tentunya sudah kelewat batas, tidak ada lagi rasa hormat dan etika yang tertanam pada diri siswa tersebut. Hal ini tentunya ada yang melatarbelakangi dengan maraknya hancurnya moral generasi muda. Kiranya ada dua poin penting yang dirasa cukup berperan dalam hal tersebut, yaitu; orang tua (keluarga) dan lingkungan (internal dan eksternal). Keluarga dinilai sebagai faktor yang paling dominan dalam meletakkan pondasi sebagai dasar bagi perkembangan moral/akhlaq, karena keluarga adalah sebagai madrasatul ula bagi seorang anak. Namun pada kenyataannya banyak para orang tua yang kurang paham tentang perannya. Para orang tua mungkin juga kita beranggapan bahwa pendidikan bagi anak cukup pada ranah sekolah saja dan hal yang jadi sorotan utama orang tua kepada anaknya hanyalah persoalan nilai raport atau prestasi sekolah, ketika nilai bagus dipuji dan ketika jelek dimarahi, tanpa menanyakan sejauh mana pemahaman berkenaan dengan mata pelajarannya.
Selain itu banyak orang tua siswa yang tidak sepenuhnya mendukung pengajaran yang ada di sekolah, sebagaimana sering kita lihat di media banyak orang tua siswa yang melaporkan para guru yang memberi sanksi fisik kepada anaknya. Hal tersebut membuat para guru takut untuk memberi sanksi kepada siswa yang bersalah, sehingga banyak murid yang berani kepada gurunya. Sisi lain kurangnya pengawasan orang tua terhadap pergaulan anak juga dapat menyebabkan merosotnya nilai kebaikan pada diri anak. Sekolah merupakan lingkungan pendidikan sekunder, yang secara sistematis melaksanakan proses pengajaran, bimbingan, latihan dalam rangka membantu supaya siswa mampu mengembangkan potensi yang dimiliki, baik berkenaan dengan aspek moral, spiritual, intelektual, emosional, maupun sosial dan lainnya. Akhirnya kita ketahui bahwa peran sekolah terbilang cukup besar ditambah lagi hampir sepertiga waktu siswa dihabiskan di sekolah. Kondisi dunia pendidikan saat ini dirasa belum mampu sepenuhnya untuk membentuk moral siswanya. Para siswa lebih ditonjolkan dalam hal intelektual saja dan mngesampingkan pendidikan moral. Contoh kasus yang sering terjadi adalah ketika Ujian Nasional (UN) mata pelajaran yang diujikan hanya mata pelajaran umum saja, mata pelajaran yang menyangkut aspek moral/akhlak diabaikan. Sehingga para siswa beranggapan bahwa intelektualitas/kepintaran siswa jauh lebih penting dibandingkan moral siswa tersebut. Akhir dari coretan kecil ini dapat disimpulkan bahwa degradasi moral anak bangsa ini kiranya dapat diperbaiki jika kedua lini menjalankan perannya dengan baik dan penuh kesadaran, berkolaborasi saling mendukung dan bersinergi untuk anak negeri dikemudian hari.