OPINI
10/05/2024
Syifa Salsabila Azzahra
Dalam perjalanan panjang pengembangan ilmu kriminologi di Indonesia, peran filsafat semakin diakui sebagai elemen penting. Namun, seringkali kontribusi filsuf Indonesia dalam mengembangkan kriminologi sering terlupakan. Padahal, pemikiran-pemikiran kritis mereka tidak hanya memperluas wawasan, tetapi juga memberikan sudut pandang yang mendalam terhadap fenomena kejahatan dan keadilan di Indonesia.
Pertama-tama, perlu diakui bahwa pemikiran Nurcholish Madjid tentang pluralisme agama dan nilai-nilai moral universitas telah memberikan wawasan yang berharga tentang keragaman budaya dan agama di Indonesia serta implikasinya terhadap fenomena kejahatan. Madjid membawa gagasan bahwa agama-agama dan nilai-nilai moral universitas dapat menjadi landasan bersama untuk membangun masyarakat yang adil dan beradab. Dalam konteks kriminologi, pemikiran ini membuka ruang untuk memahami keragaman sosial dan budaya serta dampaknya terhadap pola-pola kejahatan.
Sementara itu, franz Magnis-Suseno telah menyoroti isu-isu etika dalam kriminologi melalui pandangannya tentang hak asasi manusia dan keadilan sosial. Melalui kritik-kritiknya terhadap sistem peradilan pidana dan hukuman, ia mengajukan pertanyaan-pertanyaan ini membuka ruang untuk pembahasan yang lebih luas tentang reformasi sistem peradilan pidana di Indonesia
Meskipun pentingnya integritas antara filsafat dan kriminologi diakui, masih ada sejumlah tantangan yang perlu diatasi. Kurangnya kesadaran akan relevansi filsafat dalam konteks kriminologi dan keterbatasan sumber daya manusia yang mendukung integritasi ini menjadi hambatan utama. Namun, ada peluang besar untuk meningkatkan integritasi antara kedua bidang ini melalui kolaborasi antardisiplin, peningkatan kesadaran, dan pengembangan program pendidikan yang terintegrasi.
Disamping itu, ada pentingnya mempertimbangkan peran sejarah dan budaya Indonesia dalam pengembangan kriminologi. Filsuf Indonesia tidak hanya membawa gagasan-gagasan filosofis universal, tetapi juga konteks lokal yang khas. Memahami nilai-nilai budaya dan kearifan lokal dapat membantu kita melihat dinamika kejahatan dalam konteks yang lebih luas, serta merumuskan solusi yang lebih sesuai dengan realitas sosial budaya Indonesia.
Selain itu, integritasi antara filsafat dan kriminologi juga dapat membuka ruang untuk mengembangkan teori-teori kriminologi yang lebih kontekstual dan relevan dengan realitas Indonesia. Dengan memperlihatkan kondisi, sosial, budaya, dan politik di Indonesia, kita dapat menghasilkan teori-teori yang lebih mampu menjelaskan pola-pola kejahatan yang spesifik dan merumaskan intervensi-intervensi yang lebih efektif.
Tidak hanya itu, pemikiran filosofis juga dapat membantu kita mengeksplorasi implikasi sosial dan etika dari kebijakan kriminal. Misalnya, dengan menerapkan analisis filososfi terhadap konsep-konsep seperti keadilan restorative dan resolusi konflik, kita dapat memperdalam pemahaman tentang efektivitas berbagai pendekatan dalam penanganan kejahatan.
Dalam mengakhiri pembahasan ini, penting untuk diingat bahwa peran pilsuf Indonesia dalam pengembangan kriminologi tidak boleh diabaikan. Kontribusi mereka membuka ruang untuk diskusi yang lebih mendalam dan berkelanjutan tentang cara mengatasi tantangan kejahatan di Indonesia. Dengan menguatkan integrasi antara filsafat dan kriminologi, kita dapat membangun fondasi yang lebih kuat untuk pengembangan ilmu kriminologi di Indonesia. Dengan demikian, kita dapat bergerak maju menuju penanganan kejahatan yang lebih efektif dan berkelanjutan.